Rabu, 14 Desember 2011

Memahami Metode Dakwah Walisongo

Telah masyhur di kalangan sejarawan, ulama, dan tokoh lainnya bahwa Islam tersebar luas di Indonesia atas jasa Walisongo dan murid-muridnya. Sebelumnya, usaha dakwah telah dilakukan orang, tapi lingkupnya sangat terbatas.

Harian Duta Masyarakat mengungkap, sebenarnya Islam masuk Nusantara sejak zaman Rasulullah. Yakni berdasarkan literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Kemudian Marcopolo menyebutkan, saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu Bathuthah, pengembara muslim, yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafii. Tapi baru abad 9 H (abad 15 M) penduduk pribumi memeluk Islam secara massal (Duta Masyarakat, 28-30 Maret 2007). Masa itu adalah masa dakwah Walisongo.

Dakwah Kultural
Berbeda dengan dakwah Islam di Asia Barat, Afrika, dan Eropa yang dilakukan dengan penaklukan, Walisongo berdakwah dengan cara damai. Yakni dengan pendekatan pada masyarakat pribumi dan akulturasi budaya (percampuran budaya Islam dan budaya lokal). Dakwah mereka adalah dakwah kultural.

Banyak peninggalan Walisongo menunjukkan, bahwa budaya dan tradisi lokal mereka sepakati sebagai media dakwah. Hal ini dijelaskan—baik semua atau sebagian—dalam banyak sekali tulisan seputar Walisongo dan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Misalnya, dalam Ensiklopedi Islam; Târikhul-Auliyâ’ karya KH Bisri Mustofa; Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia karya KH Saifuddin Zuhri; Sekitar Walisanga karya Solihin Salam; Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya karya Drg H Muhammad Syamsu As.; Kisah Para Wali karya Hariwijaya; dan Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA.

Dahulu di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha, dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan Budha, sehingga budaya dan tradisi lokal saat itu kental diwarnai kedua agama tersebut. Budaya dan tradisi lokal itu oleh Walisongo tidak dianggap “musuh agama” yang harus dibasmi. Bahkan budaya dan tradisi lokal itu mereka jadikan “teman akrab” dan media dakwah agama, selama tak ada larangan dalam nash syariat.

Pertama-pertama, Walisongo belajar bahasa lokal, memperhatikan kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat. Lalu berusaha menarik simpati mereka. Karena masyarakat Jawa sangat menyukai kesenian, maka Walisongo menarik perhatian dengan kesenian, di antaranya dengan menciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan pertunjukan wayang dengan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya.
Walisongo sangat peka dalam beradaptasi, caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, tapi diisi pembacaan tahlil, doa, dan sedekah. Bahkan Sunan Ampel—yang dikenal sangat hati-hati—menyebut shalat dengan “sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang) dan menamai tempat ibadah dengan “langgar”, mirip kata sanggar. 

Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan genteng bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang—menurut sebagian sejarawan—mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik cantrik dan calon pemimpin agama. 

Bagaimana Memahaminya?
Sebagian pihak mempermasalahkan metode dakwah Walisongo tersebut. Sebagian mempertanyakan kesesuaiannya dengan dalil syar’i. Sebagian lagi bahkan berani menyalahkan peninggalan para ulama-wali itu. Hal ini terutama dilakukan kaum modernis yang dipengaruhi pemikiran Wahabi yang kaku.
Bila mau berpikir jernih dan bijak, metode dakwah Walisongo tidak selayaknya dipertanyakan. Bahkan semestinya dipuji, karena terbukti kesuksesannya. Untuk dapat memahami mengapa Walisongo menerapkan metode dakwah semacam itu, beberapa hal perlu dilakukan.

Pertama, mempelajari sejarah mereka secara mendalam. Sebagaimana disebut di atas, banyak bacaan tentang sejarah Walisongo. Bacaan-bacaan tersebut bersumber dari kitab, babad, dan serat kuno, di antaranya Kitâb Kanzul Ulûm Ibnul Bathuthah; Babad Tanah Jawi; Babad Majapahit lan Para Wali; Hikayat Hasanuddin; Wali Sanga Babadipun Para Wali; dan Serat Centhini. Tulisan di masjid dan makam Walisongo juga dijadikan sumber. Beberapa buku orientalis juga dijadikan sumber, tapi para sejarawan Islam bersikap selektif dan hati-hati dalam mengutip keterangan dari non muslim ini.

Kedua, selalu mengingat bahwa Walisongo ulama yang alim, yang tak akan sembarangan dalam berbuat. Menurut Kitâb Kanzul Ulûm Ibnul Bathuthah, Walisongo adalah sembilan ulama berilmu agama tinggi serta mempunyai karamah, yang diutus Sultan Muhammad I Turki untuk menyebarkan Islam di Jawa. Bila salah satu pergi atau meninggal, maka segera digantikan wali lain.
Sunan Bonang meninggalkan Primbon Wejangan Sunan Bonang berisi Fikih, Tauhid, dan Tasawuf, di antaranya berdasarkan Ihyâ’ Ulûmid-dîn al-Ghazali, al-Anthâki dari Dawud al-Anthaki, dan kitab Syekh Abdul Qodir al-Jailani. Menurut Muhammad Syamsu As., ajaran Sunan Bonang mengikuti akidah Ahlusunah wal Jamaah dengan mazhab Syafii, dan mewakili ajaran semua Walisongo.

Masih menurut ia, Sunan Giri dinamai Sultan Abdul Faqih, karena Ilmu Fikihnya sangat mendalam, ia mengajar Ilmu Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Nahwu, dan Sharaf; Sunan Kudus dijuluki Waliyul Ilmi, menguasai Ilmu Ushul Hadits, Ilmu Tafsir, Ilmu Sastra, Manthiq, dan terutama Ilmu Fikih; dan Sunan Gunung Jati mempelajari Ilmu Syariat, Hakikat, Thariqat, dan Ma’rifat. 

Ketiga, mempelajari metode dakwah Nabi Muhammad e, sahabat, dan ulama salaf sebagai perbandingan. Setelah diteliti, ternyata dakwah Walisongo yang bijak dan halus sesuai dengan dakwah Nabi. Dakwahnya sesuai ayat, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS an-Nahl [16]: 125). Dan ayat, “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS Ali Imran [3]: 159). Juga pesan Nabi saat mengutus Abu Musa dan Mu’adz berdakwah, “Mudahkanlah, jangan mempersulit. Berilah kabar gembira, jangan membuat (objek dakwah) lari!” (HR Muslim). Dan Hadits dari Siti Aisyah, “Rasulullah memerintah kami menempatkan (memperlakukan) manusia sesuai keberadaan (akal) mereka.” (HR Abu Dawud)
Tentang Walisongo membuat tembang dan puji-pujian Jawa, hal ini sebagaimana sahabat dan ulama salaf membuat syair-syair keagamaan Arab. Bahasanya saja beda. Tentang membuat dan menggunakan gamelan serta beduk, kemungkinan besar berpedoman pada pendapat al-Ghazali dalam Ihyâ’ Ulûmid-dîn bahwa alat musik yang dilarang hanya yang disebut dalam Hadits. 

Tentang pertunjukan wayang, awalnya Sunan Giri tak setuju, tapi akhirnya beliau dan wali lainnya menyetujui setelah Sunan Kalijogo mengusulkan wayang diubah bentuknya: tangan lebih panjang dari kaki, hidung panjang-panjang, kepala agak menyerupai binatang, dan lain-lain agar tak serupa persis dengan manusia. Tentang membakar kemenyan, bukan untuk arwah orang mati, tapi untuk mengharumkan ruangan dan karena Nabi suka wangi-wangian. 

Keempat, selalu husnudh-dhan (berbaik sangka) pada Walisongo. Apabila ada metode dakwah mereka yang tampak kurang sesuai syariat, sebaiknya menganggap (1) mungkin sumber/penulis sejarahnya yang keliru, bukan Walisongo; dan (2) mungkin diri kita yang belum memahami/menemukan dalil dan pendapat ulama salaf yang mereka gunakan. 

Jika tidak husnudh-dhan, kita akan menyalahkan mereka seperti kaum Wahabi dan modernis menyalahkan para ulama. KH Hasyim Asy’ari dalam Risâlah Ahlussunah wal Jamâ’ah mengutip ucapan Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i, “Mereka (Wahabi dan yang sealiran) golongan yang bermain-main dengan agama, mereka mencela para ulama salaf dan khalaf, dan mengatakan, ‘Mereka itu tidak ma’shum (terjaga dari dosa seperti Nabi), maka tidak selayaknya mengikuti mereka.’” Na’ûdzu billâh. Walisongo memang tidak ma’shûm, tapi bukan muqashshir (orang sembrono), apalagi jâhil (orang bodoh). Mereka mahfûdz (terjaga dari dosa, sebagai wali Allah) dan ulama yang alim. 

Dan kelima, selalu menghormati Walisongo sebagai penyebar Islam dan guru. Seandainya bukan karena mereka, mungkin kita saat ini beragama Hindu atau Budha seperti nenek moyang kita. Walisongo guru kita, karena nenek moyang kita belajar pada mereka atau murid-murid mereka; dan kiai serta guru kita masa sekarang—utamanya di pesantren—belajar pada gurunya, gurunya belajar pada gurunya lagi, terus sampai Walisongo. Karena itulah para ulama dan habaib mengamalkan ajaran Islam tradisionalis Walisongo, bahkan beberapa menulis kitab/buku untuk membelanya. Masyarakat umum juga ikut mengamalkannya.

Walhasil, Walisongo adalah ulama-wali yang alim dan bijak. Mereka dan metode dakwah serta peninggalannya seyogianya dihormati. Nabi bersabda pada Sayidina Ali, “Demi Allah, sungguh Allah memberi petunjuk pada seseorang (hingga masuk Islam) melalui kamu itu lebih baik bagimu daripada memperoleh unta merah” (HR Bukhari-Muslim). Nabi juga bersabda, “Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, dia mendapat pahala sebagaimana orang yang melakukannya” (HR Muslim). Hadits terakhir ini, menurut Sayid Alawi bin Abbas al-Maliki, menunjukkan keutamaan ilmu dan bahwa Nabi mendapat pahala seperti pahala seluruh umatnya, sejak diutus sampai Kiamat. Maka begitu pula Walisongo, sebagai penyebar Islam “pertama”, mereka mendapat pahala seperti pahala semua umat Islam Indonesia, sejak dakwahnya sampai Kiamat.


Sumber Tulisan:
Asnan Wahyudi & Abu Khalid MA. Tanpa tahun. Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa. Surabaya: Karya Ilmu.
Dewan Penterjemah Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al Qur’an. 1971. Al Qur’an dan Terjemahnya. Medinah: Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li Thiba’at al Mush-haf asy-Syarif.
Harian Duta Masyarakat, 28 Maret 2007; 29 Maret 2007; 30 Maret 2007.
Hariwijaya. 2003. Kisah Para Wali. Yogyakarta: Nirwana.
Hasyim Asy’ari, KH. Tanpa tahun. Risâlah Ahlussunah wal Jamâ’ah. Pasuruan: Pustaka Sidogiri.
Imam al-Ghazali. 2002. Ihyâ’ Ulûmid-dîn. Juz II. Beirut Lebanon: Darul Fikr.
Imam an-Nawawi. 2001. Riyâdhush-Shâlihin. Beirut Lebanon: Darul Fikr.
Muhammad Syamsu As, Drg. H. 1996. Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya. Jakarta: Lentera.
Nur Amin Fattah. 1994. Metode Da’wah Walisongo. Semarang: CV Bahagia.
Sayid Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani. Tanpa tahun. Fathul-Qarîb al-Mujîb ‘alâ Tahdzîbi at-Targhîb wa at-Tarhîb. Mekah: al-Haramain.

Tidak ada komentar: