DASAR-DASAR INTELIJEN (BAGIAN 1)
(Mantan Kepala BAKIN)
Pengertian Dasar
Intelligence
is knowledge, demikian secara generik menurut kamus. Jargon militer mengartikan
– intelligence is foreknowledge. – kemampuan “weruh sadurunge
winarahâ€. Meski intelijen diharapkan weruh sadurunge winarah, tatkala
garis pertahanan Bar Lev Israel di Gurun Sinai hancur berkeping-keping pada
ofensif Oktober 1973 oleh serbuan yang mendadak dari jenderal Sazely dalam
Perang Ramadhan, orang hampir-hampir tidak bisa percaya bahwa badan
intelijen Mossad yang legendaris itu ternyata tidak
memiliki kawruh akan adanya ofensif di hari raya Youm
Kippur sesuai dengan reputasinya yang digembar-gemborkan selama ini.
Ceritera tentang intelijen yang
tertangkap basah, yang diperdaya oleh lawannya, yang bobol, bukan hanya dialami
oleh Mossad dan Aman (badan intelijen pertahanan Israel)
yang konon sakti mandraguna, tetapi dialami juga oleh badan-badan
intelijen kondang dunia betapa pun handal dan canggihnya.
Sejarah keberhasilan yang
legendaris dari raid “Tora, Tora, Tora†oleh sayap udara dari
armada Kekaisaran Jepang yang melibas habis kapal-kapal armada pasifik Amerika
Serikat di Pearl Harbour pada bulan Desember 1941 dan menjadi pemantik Perang
Pasifik, merupakan suatu operasi intelijen yang mempermalukan Amerika yang
sungguh sangat monumental. Kejadian sedemikian tetap berulang berkali-kali,
bahkan di penghujung abad ke-20 ini ketika badan-badan intelijen sudah
makin sophisticated.
Ketika menjelang Natal pada 24
Desember 1979 sembilan divisi Uni Soviet, yang terdiri dari divisi berlapis
baja ke-5, ke-54, ke-103, ke-104, lalu divisi mobil udara ke-105, serta divisi infanteri
bermotor ke-66, ke-201, ke-357 dan ke-360, terdiri tidak kurang dari 45.000
orang prajurit melancarkan serbuan besar-besaran menyeberangi perbatasan
Tajikistan menyerbu dan menduduki Afganistan, tiga badan intelejen Amerika
Serikat paling canggih –-CIA, DIA (Defense Intelligence Agency) dan NIA
(National Intelligence Agency)-– yang diawaki dengan personil yang paling
terlatih dan paling berpengalaman, diperlengkapi dengan sarana penyadap
elektronika dan pemantau satelit yang mampu mengawasi tiap jengkal permukaan
bumi pada tiap saat, tiba-tiba saja oleh keberhasilan pendadakan itu tampak
menjadi badan-badan intelijen paling konyol di dunia. Harap diingat, sembilan
divisi bukanlah jumlah kekuatan yang kecil yang begitu saja dapat lolos dari pengamatan.1)
Contoh lain lagi. Ofensif
Argentina pada tanggal 2 April 1982 terhadap kepulauan Falkland, atau Malvinas
kata orang Argentina, adalah juga ceritera nyata betapa sebuah lembaga
intelijen paling bergengsi seperti MI-6 Inggeris tertangkap basah tidak mampu
mengantisipasi serangan dadakan tersebut sebelumnya. Jadi, badan-badan
intelijen, yang paling canggih, paling berpengalaman, dan paling bergengsi
seperti Mossad, CIA, MI-6, bahkan KGB sekalipun, ternyata bukanlah
lembaga-lembaga dewa yang serba tahu dan serba bisa. Bahwa intelijen sebagai
lembaga harus mampu menjalankan empat fungsi utamanya, yaitu –-to
anticipate, to detect, to identify, and to forewarn-– secara
mumpuni, memang itulah yang diharapkan.
Maka dari itu, ketika Pemerintah
Orde Baru pada waktu yang lalu menginstruksukan untuk membangun “posko-posko
kewaspadaan†guna mengantisipasi terhadap berbagai kemungkinan adanya dadakan
kerusuhan sosial, perintah semacam itu tak pelak lagi merupakan suatu
sindiran gaya Jawa terhadap komunitas intelijen, terutama dalam
menjalankan keempat fungsi utama yang disebutkan di atas tadi. Kalau tidak,
untuk apalah pula “posko-posko kewaspadaan†itu, meski kelemahan itu tidak
terletak sebagai tanggung jawab badan-badan intelijen an sich. Dalam hal
ini aparat pemerintah lainnya perlu diperiksa juga akan peran dan tanggung
jawabnya, terutama berkenaan dengan efektivitas dari intelijen fungsional.
Sehubungan dengan intelijen tersebut, tokoh guru peperangan gerilya Che Guevara
memperingatkan dari dalam belantara Colombia, bahwa “informasi akan mengalir
ke arah ke mana simpati rakyat diberikan.“ Barangkali kaidah besi ini harus
menjadi peringatan bagi badan-badan intelijen kita juga.
Dari contoh-contoh di atas tadi,
kenyataan empirik memperlihatkan kelemahan-kelemahan alamiah memang akan terus
melekat pada badan-badan intelijen kapanpun dan dimanapun, karena kelemahan
yang bersifat manusiawi. Kelemahan itu dapat bersifat struktural (artinya, bisa
diperbaiki), bisa kultural (sulit diperbaiki). Meski dengan segala kemungkinan
akan kelemahan yang ada, yang dapat membatasi kemampuannya, fungsi intelijen
sejak zaman dahulu kala telah telah diakui menduduki peran yang menentukan. Sun
Tzu (250 s.Masehi) telah menetapkan adagiumnya yang terkenal “Ketahui
musuhmu, dengan mengetahuinya sudah separuh dari kemenanganâ€.2)
Intelijen – Profesi untuk Hanya
Seorang Klien
Intelijen memiliki watak
sebagai a professional with one client --profesi yang mengabdi hanya
kepada seorang klien. Istilah tersebut mencerminkan bukan sekedar keunikan
intelijen, tetapi juga keterkaitan berbagai perannya
dengan fungsi-fungsi dari sekuriti nasional. Paling tidak ada
enam fungsi-fungsi yang mengalir dari aspek sekuriti nasional. Fungsi-fungsi
dari sekuriti nasional itu adalah :
Membina kepastian hukum (legal
surety);
Membina ketentraman dan
ketertiban masyarakat (civil order);
Menegakkan hukum secara paksa
(law enforcement);
Membangun kemampuan pertahanan
(defence capability);
Melindungi masyarakat dari
berbagai bencana, baik karena alam, kelainan, maupun kesengajaan (public safety
from disasters); dan yang terakhir,
Memelihara keamanan negara (state
security);
yang masing-masing memiliki
ciri-ciri masalah dan ancamannya sendiri-sendiri.3)
Karakterisasi ancaman menuntut
adanya spesialisasi penanganan masing-masing. Spesialisasi intelijen
terhadap fungsi-fungsi dari sekuriti nasional tersebut dimanifeskan ke
dalam crime and law enforcement intelligence, yang dilaksanakan oleh
badan intelijen kepolisian (seperti FBI, Spesial Branch, Intelpol, dsb). Fungsi
berikutnya, yakni defence intelligence, dilaksanakan oleh badan badan
intelijen pertahanan, mulai yang terbatas pada lingkup intelijen daerah
pertempuran (combat intelligence) sampai kepada intelijen yang berlingkup
strategis. Kemudian oleh berbagai intelijen yang ditujukan untuk melindungi
masyarakat (intelligence for public protection) dari berbagai wujud bahaya yang
tanggung-jawabnya dilaksanakan oleh departemen terkait (mulai dari lembaga
pengawasan kegiatan vulkanologi, pengendalian banjir, penanggulangan kenakalan
remaja, narkotika dan uang palsu, sampai kepada pengawasan lalu-lintas orang
asing, dsb) serta untuk perlindungan kepentingan nasional yang lebih luas, yang
mencangkup bidang politik, ekonomi, keuangan, sosial-budaya, serta keamanan
sosial, yang dilaksanakan oleh badan-badan intelijen nasional (NIA, MI-6/5,
BIN, dsb)
Pertanyaan :
Berapa luas dan lingkup wewenang
dan tanggung jawab dari BIN?
Apa saja fungsi dari BIN?
Meski ada spesialisasi pada
berbagai badan intelijen untuk beragam kepentingan tersebut, sebagai realisasi
fungsi-fungsi sekuriti nasional pada berbagai tingkat dan wujudnya,
kepentingan-kepentingan ini tetap memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, peran dan fungsi koordinasi antar
badan-badan intelijen yang ada itu tidak saja tidak boleh dinafikan, bahkan
secara fungsional merupakan kebutuhan yang wajib dilakukan. Hambatan dan
kelemahan utama dari badan-badan intelijen justru terletak pada fungsi koordinasi ada take
and give dan prinsip intelijen tentang pemberian informasi hanya kepada
mereka yang memang mutlak harus tahu (need to know basis), turut mengendala
proses koordinasi. Masalah lain adalah menetapkan “siapa yang memang
perlu tahuâ€. Kendala lain terhadap koordinasi, yang turut menentukan,
lebih bersifat kultural, yaitu faktor subyektif dari badan-badan intelijen
–persisnya tokoh-tokoh-- yang terlibat. Faktor gengsi misalnya.
Koordinasi adalah kegiatan
tukar-menukar keterangan mengenai masalah-masalah yang “tidak jelas†atau
“tidak diketahui†atau “perlu diketahui bersamaâ€. Sementara kaum
intelijen adalah sosok yang acapkali harus menampilkan kesan yang serba tahu.
Oleh karena itu untuk menghindari embarrassment akan hal semacam itu,
banyak bos-bos intelijen yang sebenarnya memerlukan exchange of notes,
konsultasi, atau koordinasi dalam rangka memerlukan informasi yang ada di
tangan mereka, acap kali merasa enggan dan kalaupun terpaksa, cukup mengirim
wakil dari eselon rendahan saja, yang biasanya tidak memiliki mandat untuk
memutuskan sesuatu.
BIN yang di dalam fungsinya
menyandang fungsi mengkoordinasikan kegiatan intelijen pada lingkup
nasional dikabarkan mengalami kesulitan dalam menjalankan
fungsi koordinasinya di antara badan-badan intelijen yang ada.
Pertanyaan : Apa kendala
yang menyebabkan kesulitan dalam menjalankan fungsi koordinasi oleh BIN
terhadap badan-badan intelijen lain?
Lalu, rivalitas (persaingan)
yang inheren atau melekat di dalam tubuh berbagai badan-badan intelijen menjadi
faktor lain lagi yang mengendala usaha koordinasi dan sinkronisasi dalam rangka
mengefisienkan kegiatan badan intelijen yang ada. Berbeda
dengan kompetisi (yang juga berarti persaingan dalam bahasa
indonesia), di mana di dalamnya perjuangan merebut prestasi dilaksanakan tanpa
merugikan pihak-pihak yang bersaing, rivalitas adalah persaingan yang
kadangkala tanpa perlu memperebutkan prestasi, justru bertujuan untuk
menimbulkan kerugian pada pihak pesaing lainnya. Rivalitas adalah
permainan zero-sum-game. Keadaan yang merugikan ini bias bertambah parah
bila penguasa politik menggunakan rivalitas itu untuk power
balancing penguasa. Ciri dari sistem demikian, berbagai kelompok
kepentingan bertarung untuk memperebutkan kedekatan atau untuk memperoleh favorit
dari penguasa.
Untuk beberapa waktu lamanya
badan-badan intelijen di Indonesia, tanpa perkecualian, tidak lain hanyalah
instrumen untuk mencapai kepentingan politik. Badan inteljen yang bekerja
secara professional untuk single client organization yang pernah ada
adalah BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia), dari tahun 1945 sampai 1950.
Lembaga intelijen Indonesia yang
pertama, Badan Istimewa BKR, disusun setelah selesainya penyelenggaraan
Pendidikan Penyelidik Militer Khusus dibawah Letnan Kolonel Zoelkifli Loebis,
yang menjadi kepala Tjabang Chusus (staf intelijen) BKR (Badan Keselamatan
Rakyat). Badan Istimewa BKR diresmikan pada tanggal 6 Oktober, 1945 di
Cileungsi, Bogor, sehari setelah pemerintah meresmikan BKR sebagai badan
keamanan dari Republik yang baru lahir. Ketika ditanyakan tentang hal itu
Zoelkifli Loebis menyatakan tidak ingat lagi kapan Badan Istimewa BKR itu
diresmikan. “Saya tidak ingat tanggal pembentukannya. Yang jelas sesudah 17
Agustus 1945 dan sebelum 5 Oktober 1945,†ucap bapak intelijen Indonesia ini.
4)
Letnal Kolonel Zoelkifli Loebis
merekrut 40 orang opsir PETA mantan lulusan Seinen Dojo (Pusat
Pelatihan Pemuda), yang kemudian diikutkan dalam pelatihan intelijen
oleh Zanchi Yugeki-tai (Satuan Intelijen Bala Tentara Ke-16) sebagai
kader intelijen. Latihan para kader intelijen itu hanya berlangsung tidak lebih
dari seminggu lamanya, ditekankan terutama pada intelijen lapangan dan
teritorial, seperti pengumpulan informasi militer, sabotase dan perang urat
saraf. Tenaga pelatihnya terdiri dari para perwira dari badan intelijen
Jepang Sambobu Tokubetsu-han (Beppan), seperti Letnan Yanagawa,
Letnan Tsuchiya, Letnan Yonemura dan seorang muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu
Ono, yang dikenal dekat dengan perwira-perwira BKR, Selain Zoelkifli Loebies
sendiri yang pernah bertugas sebagai perwira intelijen di Singapura.5) Ketika
pusat pemerintahan publik dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, Badan
Istimewa BKR diubah namanya menjadi BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia)
yang secara administratif menginduk ke Kementerian Pertahanan dan secara
operasional memiliki akses langsung kepada Panglima Besar Soedirman dan
Presiden Soekarno. Pemimpinnya tetap Zoelkifli Loebis. BRANI melanjutkan
melakukan pelatihan terhadap beratus pemuda dalam rangka membentuk FP (Field
Preparation).
Tugas FPI itu macam-macam,
seperti sabotase, propaganda dan perang urat saraf, penggalangan perlawanan
terhadap Belanda, menyusup ke daerah lawan, hingga penyelundupan senjata.
“Pokoknya, kami ini intelijen tempur sekaligus teritorial†ujar Letnan
Jendral Soetopo Joewono, mantan kepala BAKIN yang menjadi anggota BRANI.6)
Untuk mendukung kepentingan politik, misi BRANI kemudian tidak terbatas pada
intelijen militer saja, tetapi diperluas kepada intelijen politik dan
strategis.
Pada masa Amir Sjarifoeddin
menjadi perdana menteri pada April 1947 lembaga intelijen ini dirombak menjadi
KP V (Kementerian Pertahanan V). Satuan-satuan intelijen yang berada di luar
struktur militer, yakni yang berada di bawah kepolisian dan kejaksaan pada masa
sebelum perang, dimasukkan kedalam jajaran kementerian pertahanan pada staf
yang berbeda. Seksi-A (bekas BRANI) diserahkan di bawah kepemimpinan Kolonel
Abdoerahman, orang kepercayaan Amir Sjarifoeddin, sedangkan Zoelkifli Loebis
menjadi wakilnya. Amir Sjarifoeddin dan Abdoerahman kemudian hari terlibat
dalam Peristi Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948.
Setelah perang kemerdekaan usai,
ketika Pemerintah Republik kembali ke Yogya, KP V dibubarkan dan sebagai
gantinya dibentuk intelijen Kementerian Pertahanan (IKP). Di bawah
menteri pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dalam posisi sebagai kepala
IKP, Zoelkifli Loebis membentuk BISAP (Biro Informasi Angkatan Perang), yang
bertugas menyiapkan informasi strategis kepada menteri pertahanan dan pimpinan
militer.
Setelah terjadi peristiwa 17
Oktober 1952 IKP “digembosiâ€. Peran intelijen pada lingkup nasional
dilakukan oleh SUAD-I. Pada tahun 1959 Presiden Soekarno membentuk sebuah badan
intelijen baru di tingkat nasional,Badan Pusat Intelijen (BPI), yang
dipimpin langsung oleh menteri luar negri Soebandrio. Dibawah kepemimpinan
Soebandrio, BPI dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh kaum komunis dan
simpatisannya. BPI menyusup ke dalam Departemen Hankam, Komando-Komando
Militer, dan badan-badan pemerintahan lainnya untuk tugas mengamati lawan-lawan
politik Presiden Soekarno. Untuk pertama kali sebuah badan intelijen seperti
BPI secara sengaja diarahkan dan digunakan sebagai sebuah instrumen politik
dengan tugas khusus untuk mengawasi dan menghabisi lawan-lawan pemerintah
seperti yang lazim berlaku di negara-negara yang bercorak otoriter.
Dengan tumbangnya kekuasaan
Presiden Soekarno, dan bangkitnya Rezim Orde Baru pada tahun 1965, BPI
dibubarkan.sebuah badan intelijen baru dibentuk, yaitu Komando Intelijen
Nasional (KIN) pada tahun 1966, tetapi sebelum berusia setahun KIN dibubarkan
dan digantikan oleh BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara) di bawah pimpinan
Kolonel, kemudian Letnan Jenderal Yoga Sugama. Presiden Soeharto tidak
sepenuhnya percaya dan menyandarkan dirinya pada BAKIN. Ia membentuk sebuah
jaringan Intelijen lain sebagai saingan BAKIN di bawah kendali mayor Jendral
Ali Murtopo dengan Operasi Khusus (Opsus)-nya, di luar pengetahuan
Bakin maupun staf intelijen Departemen Pertahanan Keamanan/Markas Besar ABRI,
serta komando pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) yang ada
pada waktu itu. Dalam melaksanakan tugas intelijennya Ali Murtopo bertanggung
jawab langsung kepada Presiden Soeharto. Selain itu di luar Opsus, Presiden
Soeharto masih membentuk dan mengendalikan jaringan intelijennya sendiri.
Ali Moertopo merupakan tokoh
kepercayaan Presiden Soeharto sejak tahun 1948. Ia adalah tokoh yang dikirimkan
oleh Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad, pada tahun 1965, tanpa
sepengetahuan Presiden Soekarno, untuk menemui Des Alwi di Bangkok dalam rangka
menjajagi kemungkinan mengakhiri ‘Konfrontasi’ dengan Malaysia. Sejak saat
itu Ali Moertopo dengan Opsus-nya ditugasi untuk menangani bidang-bidang khusus
politik, diplomasi, dan bisnis, di bawah kendali langsung Presiden Soeharto.
Permainan yang dijalankan Ali
Moertopo tidak senantiasa sejalan dengan kepentingan tentara, yang
dipresentasikan oleh Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, yang didukung oleh
BAKIN. Persaingan antara Opsus dengan Kopkamtib berakhir dengan show
down pada 15 Januari 1978, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Malari
(Malapetaka Limabelas Januari) yang berakhir dengan lengsernya kedua tokoh,
baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro, dari arena politik.
Sesudah Peristiwa Malari Presiden
Soeharto memanggil Brigadir Jenderal Benny Moerdani dari posnya di Seoul untuk
menggantikan Ali Moertopo. Ia diangkat sebagai asisten intelijen Dephankam
/ABRI, dan mengambil alih kepemimpinan CSIS dari tangan Ali Moertopo. Pada
waktu itu Pusintelstrat (Pusat Intelijen Strategis) yang berada di
bawah kendali asisten intelijen Dephankam/ABRI, dan mengambil alih kepemimpinan
CSIS dari tangan Ali Moertopo. Pada waktu itu Pusintelstrat (Pusat
Intelijen Strategis) yang berada dibawah kendali asisten intelijen
Dephankam/ABRI, berfungsi hanya sebagai “lembaga pusat†dengan tugas pokok
terbatas pada merumuskan doktrin dan menyelenggarakan latihan semata. Jenderal
Benny Moerdani tidak puas dengan hal itu, dan mereorganisasikan “tenaga
pusat†itu menjadi sebuah ‘badan’ -agency- yakni BAIS (Badan
Intelijen Strategis) ABRI dengan tugas-tugas yang sangat luas. Di bawah
kepemimpinan Jendral Benny Moerdani BAIS tidak saja merambah sampai kepada
perumusan politik luar negeri (yang membuatnya tidak disenangi oleh kalangan
Pejambon), tetapi terutama ia berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk
memberikannya kewenangan melaksanakan sesuatu “operasi tertutup†melakukan
invasi ke Timor Portugis pada tahun 1975. Kegiatan operasi itu sedemikian
tertutupnya sampai-sampai Menhankam/Pangab Jenderal Surono tidak mengetahuinya
sampai detik-detik terakhir Hari–H serbuan, yang dengan sekaligus menandai
berakhirnya peranOpsus yang masih melakukan kegiatan intelijen di timor
portugis dengan nama sandi “Operasi Komodoâ€.
Untuk “mensinergikan
operasi-operasi intelijen†sesudah peristiwa Malari, Presiden Soeharto
kemudian menempatkan Jenderal Benny Moerdani sebagai Waka BAKIN, di bawah
Jenderal Yoga Sugama. Berdalihkan bahwa BAKIN hanyalah sebuah “badan
koordinasiâ€, maka struktur organisasinya “dilangsingkan†dengan
menjadikannya sebuah organisasi yang tidak menjadi badan intelijen yang
berfungsi melakukan operasional intelijen secara penuh. Tugas pokoknya lebih
ditekankan pada koordinasi. Barangkali karena alasan tersebut, ketika saya
mengambil alih pimpinan BAKIN pada bulan April 1999, sarana operasional seperti
untuk intelijen komunikasi-elektronika, dan organ untuk operasi lapangan tidak
ada. Fungsi komunikasi-elektronika diturunkan menjadi hanya sebuah seksi yang
berada pada detasemen markas, yang bertugas untuk pelayanan internal. Karena
tiadanya organ operasional lapangan, “laporan intelijen†yang saya terima
dari staf, yang diharapkan berisi “analisis†dari intelijen matang, tidak
lebih berupa guntingan dari berbagai koran nasional. Sementara itu badan
intelijen militer, BAIS, mengendalikan operasi dan kegiatannya mulai dari
intelijen lapangan, teritorial dan intelijen strategis, dengan fokus terutama
pada intelijen politik dalam negeri. Dalam melaksanakan tugasnya, kadang kala
kegiatan intelijen merambah kepada bidang-bidang dan tindakan-tindakan yang dikemudian
hari membuat nama “intel†tidak terlalu harum di masyarakat.
Intelijen- Kegiatan Mencari
Jawaban Terbaik
Tadi di awal pembicaraan telah
dikemukakan bahwa kegiatan intelijen terkait erat dengan proses pengambilan
keputusan, pelaksanaan, serta pengendalian hasilnya. Keputusan yang baik
ditentukan oleh tersedianya informasi yang benar, faktual, cermat, obyektif,
lengkap, terkini, dapat tepat waktu.Dengan kata lain, intelijen adalah
kegiatan mencari jawaban terbaik guna mendapatkan solusi
terbaik. Untuk memperoleh jawaban terbaikitu, maka pengorganisasian
intelijen menuntut segala yang terbaik dalam segaenap aspeknya. Sulit
untuk mendapatkan jawaban terbaik bila organisasi intelijen tidak
mampu melaksanakan fungsi-fungsi dasarnya sekalipun, seperti contoh yang
dialami oleh BAKIN tadi.
Organisasi intelijen tidak lain
hanyalah sekedar sarana untuk menjalankan misinya. Misi organisasi
intelijen, seperti organisasi-organisasi lainnya ditentukan lingkungan
strategisnya, tugas utama dan khusus yang dipikulkan keatas pundaknya, serta
tantangan yang sedang dan bakal dihadapinya. Mengingat wataknya
sebagai organisasi yang mengabdi hanya untuk seorang klien, badan
intelijen harus tajam pada spesialisasinya. Organisasi yang terlampau luas dan
lebar tanggung jawabnya dapat terjebak kedalam perangkap tahu sedikit
tentang banyak hal.
Di bidang intelijen
pertahanan konon banyak hal Indonesia masih perlu berbenah diri. Salah
satu fungsi dari intelijen pertahanan, misalnya saja di
bidang survaillance udara dan maritim, yang belum mampu kita
tangani dengan memuaskan. Beberapa kawasan Tanah Air, seperti Laut Natuna,
Selat Malaka, Laut Sulawesi, serta laut-laut di kawasan timur Indonesia, tetap
masih merupakan black areas untuk intelijen kita. Bukan saja karena
kawasan-kawasan tadi belum terliput secara penuh dan efektif oleh sistem
jaringan kadar kita, juga kalaupun sarana deteksi tersebut tersedia, beberapa
faktor baik jenis, kemampuan, dan usia sudah tidak lagi memenuhi kebutuhan
sekarang. Beberapa radar buatan Rusia yang sudah jompo tidak memiliki suku
cadang lagi. Beberapa lagi, seperti
radar Plessey dan Thomson tidak kompatibel satu sama lain,
sehingga saling tidak mampu memberikan peringatan dini yang merupakan
inti fungsinya suatu jaringan radar. Padahal kemampuan peringatan
dini dan deteksi dini dari sistem jaringan radar, baik di atas
daratan maupun dibawah permukaan air, akan sangat menentukan kemampuan
unsur-unsur surveillance udara dan maritim yang juga masih sanngat
terbatas dalam jumlah, kekuatan, dan kemampuannya- dalam rangka membangun pagar
pertahanan tanah air yang dapat diandalkan. Jangan lupa, wilayah nusantara yang
harus kita lindungi sekarang ini telah meningkat tiga kali lipat, dari yang
semula hanya dua juta kilometer persegi kini menjadi enam juta kilometer
persegi, sebagai akibat bertambah luasnya wilayah tanggung-jawab keamanan
dengan kawasan zona ekonomi eksklusif.
Intelijen bukan hanya berurusan
bagaimana mengamati partai-partai politik, tetapi juga bagaimana harus mampu
menegakkan hak-hak kedaulatan nasional di lautan dari pelanggaran lalu-lintas
ilegal, penyelundupan dan kejahatan di laut, termasuk antara lain pencurian
kekayaan laut yang kini telah mencapai triliunan rupiah, maupun ancaman
penggerogotan terhadap garis-garis batas nasional. Lautan telah
menjadi frontier baru yang menuntut perhatian, karena berkaitan
dengan bukan hanya hari ini, tetapi masa depan anak-cucu kita.
Sementara itu negeri ini terbuka
telanjang oleh pengamatan pihak-pihak lain
melalui geo-stationary orbiting surveillance satellite yang
diperlengkapi baik dengan alat pendengar
elektronika serta thermal dan satelit fotografik, yang
mampu mengamati, menyadap berita, dan memotret sampai detil mulai dari nomor
kendaraan pasukan darat, di nomor lambung kapal-kapal yang ada di permukaan
laut, jumlah dan jenis pesawat yang masih air serviceable, sampai pada
semua pergerakan latihan maupun operasi pasukan-pasukan darat, laut dan udara,
mulai dari Aceh, sampai dengan Papua. Kesibukan badan-badan intelijen
dengan politicking selama ini telah menjadikannya alpa membangun
intelijen pertahanan yang akhirnya akan menentukan kemampuan kita
mempertahankan dan melindungi segenap rakyat Indonesia dan seluruh tanah
tumpah darah Indonesia dengan sebaik-baiknya.
Keterbatasan kemampuan udara strategis
serta telekomunikasi elektronika sangat menghambat kemampuan intelijen
strategis di lapangan. Pekerjaan tersebut selama ini terbatas dilakukan secara
terbuka oleh para petugas di perwakilan-perwakilan di luar negeri. Tetapi bila
saatnya mengharuskan untuk melakukan pengumpulan keterangan secara senyap di
daerah yang bermusuhan, maka kemampuan itu patut dipertanyakan. Barangkali
unsur intelijen strategis masih mampu melaksanakan misi infiltrasi, tetapi
pekerjaan eksfiltrasi terhadap pasukan tersebut setelah misi berakhir masih
merupakan tanda tanya besar. Apresiasi intelijen yang menyatakan dalam
tempo sepuluh tahun ke depan tidak akan ada perang sungguh telah
menina-bobokkan kita. Bahwasanya contoh-contoh tentang pecahnya perang dadakan
seperti di Falkland, Afganistan, Teluk, dan sebagainya, seharusnya tidak
mengizinkan suatu angkatan perang alpa dalam mempersiapkan dirinya.
Bukankah, si vis pacem para bellum. Titik-titik ledak yang eksplosif
berada di tepian Pasifik, seperti semenanjung Korea, kepulauan Daoyu-tai, selat
Taiwan, sengketa di pulau-pulau atol Spratley, dan sebagainya, bisa saja
terjadi peluberan, karena hampir semuanya berbatasan langsung dengan zona
ekonomi eksklusif Indonesia yang menempati posisi silang.
Pertanyaan :
1. Apakah BIN ada menjalin
kerja-sama dengan badan-badan intelijen asing untuk mengatasi kekurangan sarana
surveillance tersebut di atas?
2. Dengan badan-badan
intelijen asing siapa saja dan dalam bidang apa saja?
Menurut informasi alat informasi
pada camera-recorder imigrasi di Bandara Cengkareng dipasok oleh pihak Amerika
Serikat, dengan catatan mereka berhak menerima hasil pengamatan lalu-lintas
orang di Bandara kita?
Apa bentuk kerja-sama BIN dengan
badan-badan intelijen asing tersebut dalam “pemberantasan terorisme†di
Indonesia, serta peran dari badan-badan intelijen asing tersebut di Indonesia?
(BERSAMBUNG)
DASAR-DASAR INTELIJEN (BAGIAN
2-SELESAI)
Oleh : Letjend (Purn) Z.A.
Maulani
(Mantan Kepala BAKIN)
Kemampuan
dan kualitas kinerja intelijen ditentukan oleh kehandalan dan kualitas dari
sistem pendidikan dan pelatihan yang merupakan wujud upaya untuk menjadikan
seseorang cakap dan matang melalui pembekalan kemampuan profesional dan
pemberian pengalaman secara sistematik.
Pertanyaan :
Untuk menjadikan BIN sebuah
lembaga intelijen yang profesional dengan kinerja yang profesional, bagaimana
sistem rekrutmen calon-calon petugas intelijen kita?
Sisi kedua adalah efisiensi
sistem pembinaan karier yang memungkinkan seseorang menjadi matang melalui
pemberian pengalaman yang sistematik. Para master-spy dunia yang ada pada
awalnya terbentuk dari para cantrik (apprentice). Melalui kedua sistem tersebut
yang dibina secara serasi, bertahap dan berlanjut, para cantrik intelijen yang
semula masih hijau dibangun keterampilan, kepercayaan diri, kemampuan, dan
kepemimpinannya, dengan rajutan antara pelatihan kejuruan dan keahlian berbagai
lika-liku seni intelijen dengan penugasan, dari tugas magang, tugas lapangan
(field operative), lalu agen handler, kemudian middle analyst, sampai
kepada senior analyst. Hasil dari itu semua akan
melahirkan master-spy.
Pertanyaan :
Bagaimana sitem pendidikan dan
pelatihan professional baik yang berupa ‘in-house’ maupun ‘out-house
training’ ?
Bagaimana pola ‘tour of area’
dan tour of duty’ (mutasi dan promosi) para pejabat BIN ?
Akibat iklim politik yang serba
tidak menentu, bidang pembinaan karier kepegawaiaan yang belum mengacu kepada
prestasi, yang juga berlaku pada aparat intelejen, telah mengendala kaidah itu.
Para petugas dan pejabat intelejen, terutama yang berasal dengan latar belakang
non militer berdasarkan ketentuan pemerintah harus mengikuti ‘pendidikan
karier’ berjenjang regular pegawai negeri, seperti SPAMA, SPAMEN, dan SPATI,
untuk mengapatkan kenaikan jabatan yang mengandung juga kenaikan tanggung
jawab, sementara sebagaimana dinaklumi, sistem pendidikan karier pegawai negeri
tersebut tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan peningklatan keterampilan
profesionalisme intelijen yang seharusnya mereka peroleh dalam sistem
pendidikan karir mereka. Sebaliknya, in-house training yang dilakukan
oleh lembaga intelijen selama ini di bidangtradecrafts mereka ternyata
tidak memiliki efek karier, belum mendapatkan pengakuan dari badan administrasi
pembinaan kepegawaian negara, BAKN, kecuali sekedar sebagai credit
points semata.
Sosok Intelijen
Bagian terpenting dari rangkaian
pembinaan sumber-daya manusia untuk menjadikan seseorang sisik intelijen dalam
rajutan pembinaan pendidikan dan pembinaan karier atas tadi bermula pada
tahapan awal, yaiturecruitment.
Kekeliruan pada tahapan awal ini
akan berdampak panjang. Pencarian bibit (talent-scouting) menjadi pengalaman
penting dari usaha recruitment. Dari sederet panjang tuntutan yang mutlak
ada pada tiap calon rekrut ialahintegritas pribadi,
loyalitas dan kemampuan profesional (professional competence).
Integritas
pribadi merefleksikan sosok seorang yang jujur, dapat dihandalkan, satu
kata dengan perbuatan, memikiki keberanian moral, adil dan bijaksana.
Kesemuanya mutlak diperlukan, mengingat pekerjaan intelijen akan lebih banyak
dilaksanakan dengan mengandalkan pribadi demi pribadi. Pengetahuan, analisis, dan
laporan dari seorang sosok intelijen akan sangat tergantung
pada judgement dari pribadi yang bersangkutan. Dengan kata lain,
keberanian mengambil keputusan pada saat-saat kritis yang terkait erat dengan
integritas pribadi seseorang.
Loyalitas menjadi tuntutan
mutlak yang kedua. Loyalitas, atau kesetiaan, mengandung keteguhan akan
komitmen seseorang kepada misi yang diembannya, kepada etika profesinya, kepada
organisasinya, dan terutama kepada bangsa dan negaranya, diatas segala-galanya
tanpa pamrih. Sosok dan lembaga intelijen tidak boleh menyimpangkan
kesetiaannya kepada kelompok atau golongan, atau kepentingan-kepentingan sempit
di luar kepentingan nasional.
Pertanyaan : Bagaimana
mengawasi loyalitas para petugas intelijen dalam tugasnya kepada misinya dan
sumpahnya?
Pengalaman keterlibatan
badan-badan intelijen di masa silam dalam konflik-konflik yang bernuansa
kepentingan kelompok dan politik aliran dari sejak awal
sejarah republik sebagaimana dituturkan pada riwayat lembaga BRANI, KP V, PBI
dan sebagainya, cukup menjadi pelajaran yang telah menorehkan trauma ke dalam
tubuh bangsa, yang telah menjadikan badan-badan intelijen kita tidak terlepas
dari trauma masa lalu, di mana sosok intelijen kerap cenderung memperlihatkan
subjektifitas politik alirannya, primordialisme yang kental,
sehingga tidak dapat menghindari diri dari perlibatan dengan
kegiatan politicking dalam politik praktis.
BIN sebagai badan koordinasi
intelijen negara, tidak peduli siapa pun yang memimpin dan kapan pun, pada
dasarnya harus senantiasa terikat kepada misinya, yaitu menyampaikan informasi
yang objektif dan faktual --pertimbangan tentang apa yang sepatutnya dilakukan
atau tidak dilakukan-- kepada presiden/kepala negara dalam rangka mengamankan
segala upaya untuk “melindungi segenap rakyat Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahterahan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan keterlibatan dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.â€
Pertanyaan : Bagaimana usaha
Kepala BIN untuk menjamin agar badan-badan intelijen kita, khususnya BIN, tidak
menjalankan politik kelompok, politik aliran dan atau primodialisme, yang
selama ini telah menjadi trauma besar di kalangan masyarakat Indonesia?
Kemampuan
profesional menjadi syarat mutlak ketiga menuju terbinanya sosok intelijen
yang profesional. Professionalisme tidak terbatas hanya pada
penguasaan teknis dari trade-craft intelijen. Di dalamnya terkandung
kewajiban dan kemampuan untuk menegakkan etika profesi yang menjadikan
intelijen menjadi profesi yang disegani dan terhormat, bukan pekerjaan yang
menimbulkan rasa takut dan jijik. Profesionalisme menuntut dalam
kegiatan intelijen penghormatan kepada hukum dan ketentuan yang berlaku,
hak-hak asasi manusia, nilai-nilai budaya yang ada, karena negara yang kita
impikan bukanlah negara polisi (police state) atau negara kekuasaan (machts
staat) yang kekuasaannya didukung oleh polisi rahasia semacam Kempetai,
Gestapo, GRU, atau Stazei. Badan-badan intelijen fungsional, diharapkan oleh
rakyat agar “berhenti melakukan hal-ihwal di luar fungsi dan misi intelijen,
dan terutama dengan kegiatan yang menzalimi rakyat.†Jangan sampai berlaku
pemeo, “sukses di semua bidang, terkecuali di bidang intelijen.â€
(Catatan : Oleh karena itu
dalam upaya melakukan profesionalisasi sosok intelijen, dalam rekrutmen calon
petugas intelijen di luar tiga tuntutan dan persyaratan tersebut diatas,
badan-badan intelijen strategis mensyaratkan tenaga
didik serendah-rendahnya strata-1; berkepribadian hangat dan
menyenangkan-bukan yang berpenampilan sangar; mudah dan enak bergaul dalam
berbagai lingkungan ; menguasai paling tidak satu bahasa asing, yaitu bahasa
inggris, dengan fasih; mampu membangun struktur berpikir logis dan analitik;
serta mampu menyampaikannya secara jernih baik secara lisan maupun tertulis).
Menengok perkembangan intelijen
ke belakang dan memandang gelagat perkembangan lingkungan dalam dan luar negeri
ke masa depan, usaha untuk melakukan reposisi kedudukan dan peran intelijen
dalam kehidupan negara merupakan langkah yang perlu dan harus diambil, dengan
secara jujur berusaha menarik pelajaran dari masa lampau serta dari
kekurangan-kekurangan objektif yang masih ada di masa kini.
Acuan missi intelijen di masa
depan harus terkait dengan usaha untuk mendukung komitmen bangsa, yaitu turut
mengamankan terbentuknya, 1) masyarakat madani yang demokratik; 2) yang
menghormati supremasi hukum; 3) mendukung terbentuknya pemerintahan yang
bersih; 4) serta menjunjung tinggi pluralitas bangsa dalam wujud penghormatan
kepada perbedaan dengan tetap berada dalam pigura Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pertanyaan : Untuk
mewujudkan hal tersebut di atas, apakah Saudara Kepala BIN sepakat akan
perlunya melegislasikan suatu ‘Undang-undang tentang Intelijen’, yang
isinya menetapkan secara tegas tugas pokoknya (‘mission’),
fungsi-fungsinya, bidang-bidang yang menjadi lahan garapannya, jenis tugas
(‘tasks’) agar badan-badan intelijen kita tidak terjebak menjadi “polisi
rahasia†yang bertentangan secara mendasar dengan prinsip negara kita sebagai
negara hukum (‘recht-staat’); undang-undang itu perlu menetapkan kepada
siapa ia bertanggung-jawab, bagaimana hubungannya dengan DPR, dari mana sumber
alokasi anggaran belanja bagi lembaga intelijen, dan hal-ihwal yang berkaitan
dengan tanggung-jawab administratif badan-badan intelijen.
Tantangan Baru – Cakrawala Baru
Tantangan masa depan bukan hanya
berwujud ancaman fisik. Runtuhnya Tembok Berlin pada 1985 bukan hanya
meniadakan dua kubu yang bersaing, yang nyaris akan meluluh-lantakkan dunia.
Berakhirnya Perang Dingin dengan kemenangan blok Barat telah membuka pintu
bendungan yang tak tertahankan, munculnya suatu fenomena baru, yakni
globalisasi. Globalisasi, atau proses pensejagatan, terjadi berkat
berlangsungnya revolusi dahsyat di bidang teknologi transportasi,
telekomunikasi, dan informasi. Revolusi tersebut telah mengubah secara total
konsep tentang ruang dan waktu. Dunia dibuatnya makin menciut. Kenichi Ohmae
menyebutnya –a new borderless world– suatu dunia yang tidak lagi mengenal
tapal-batas. 7) Tanpa tapal-batas gelombang informasi dalam era globalisasi
mendorong proses uniformisasi umat manusia. Uniformisasi itu terutama
berkiprah dalam visi dan aspirasi, seperti tampak pada gerakan perjuangan untuk
menghormati hak-hak asasi manusia, demokratisasi, hidup yang lebih ramah
lingkungan. Terhadap gejala uniformisasi tampak gerakan regionalisme yang kini
tumbuh bak cendawan di musim hujan dan kian menguat, di Amerika Utara, Eropa,
dan Asia (Timur, termasuk Tenggara), serta munculnya entitas
non-negara yang ditujukan untuk kerja-sama ekonomi seperti WTO, APEC,
ASEM, dan sebagainya.
Gejala yang memerlukan
kewaspadaan dalam uniformisasi ini ialah terbentuknya entitas non-negara,
di mana yang terpenting adalah menguatnya kesadaran
kesetia-kawanan diaspora etnis Cina secara mondial maupun regional,
yang kini bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia yang harus diperhitungkan. Di
negara-negara tepian Pasifik, di luar RRC dan Taiwan, jumlah etnis Cina yang
hanya 25 juta jiwa memiliki pendapatan 30 triliun dolar setahun, yang berarti
delapan kali lipat GDP Cina Daratan yang berpenduduk 1,3 milyar jiwa.
Jaringan etnis Cina perantauan
tersebut sangat rumit, terdiri dari jaringan-di-dalam-jaringan, baik jaringan
berdasarkan she (marga), perkongsian, maupun negara, dimana mereka
bertempat tinggal, yang terkait rumit satu dengan yang lain. Sudono Salim masih
salah seorang ketua organisasi dari she Lim sedunia. Bersama-sama
dengan Mochtar Riyadi keduanya menjadi anggota dewan penasehat dari perhimpunan
etnis Cina perantauan sedunia yang bermarkas-besar di Chinese Heritage
Center Singapura.
Dalam hubungan ini Lee Kuan Yew,
menteri senior Singapura, dan para pemimpin Singapura, mengidap impian
menjadikan Singapura sebagai ibukota para Hoa Xiao di dunia. Ketika
terjadi Tragedi Mei 1998 menjelang tumbangnya Presiden Suharto,
kerusuhan besar yang menimpa etnik-Cina di Jakarta, adalah Singapura yang
paling kencang suaranya mengecam Indonesia dalam rangka memberikan kesan
Singapura sebagai negara yang paling peduli dengan nasib etnik Cina Hoa
Xiao.
Lalu apa kaitannya dengan
solidaritas diaspora etnis Cina ini? Kekuatan duit mereka. Siapa saja
yang ingin berpolitik butuh duit. Tetapi juga sebaliknya, duit menjadi basis
dari kekuatan politik. Artinya, sewaktu-waktu kepentingan ekonomi dan atau
keuangan dari kelompok etnis Cina perantauan terancam di salah satu atau
beberapa negara klien, sudah dapat dipastikan akan ada reaksi berupa
ramifikasi politik. Terpuruknya moneter, ambruknya perbankan, dan rusaknya
ekonomi Indonesia, merupakan salah satu contoh dari kekuatan sistem senjata
ekonomi. Tumbangnya rejim Orde Baru bukan karena ada divisi berlapis-baja
menggelinding di jalan-jalan Thamrin atau Sudirman di Jakarta, atau penerjunan
pasukan payung di lapangan Monas, atau berjatuhannya peluru-kendali di
Cilangkap. Presiden Soeharto tumbang karena jatuhnya nilai rupiah, yang membuka
pintu kepada krisis moneter dan kemudian ekonomi yang akut. Minat intelijen
nasional harus disesuaikan dan dilebarkan antara lain dengan adanya tantangan
berupa ancaman baru tersebut.
Duit juga menjadi faktor kuat yang
mempengaruhi perumusan kebijakan nasional. Dalam hal ini contoh konkrit adalah
ketika melalui tokoh-tokoh Hoa Xiao seperti Tong Joe, Tommy Winata,
dan James Riyadi, Presiden Megawati mengeluarkan kebijakan R & D (Release
and Discharge), kepada para obligor yang pada umumnya adalah konglomerat
keturunan Cina yang melarikan diri ke Singapura, pembebasan dari kewajiban
mengembalikan hutang-hutang mereka yang mencapai angka sampai 170 trilyun
rupiah yang berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) bermasalah.
Bersama dengan penjualan Indosat kepada Singapura Telecommunications, dan
keputusan untuk menaikkan tarif bahan bakar minyak (BBM), listrik dan telepon,
kesemuanya telah menjadi pemantik demonstrasi-demonstrasi besar-besaran yang
dilancarkan oleh mahasiswa, pemuda, buruh, pengusaha, kaum miskin dan ibu-ibu
rumah tangga di Jakarta pada awal Januari 2003.
Kemudian masalah lain yang
memerlukan perhatian adalah runtuhnya imperium Uni Sovyet pada tahun
1989 yang telah menampilkan Amerika Serikat sebagai
satu-satunya super-power di dunia. Menanggapi peristiwa tersebut
Amerika Serikat telah memutuskan untuk mempertahankan dan meningkatkan peran
tersebut sebagai pemimpin dunia yang dipandangnya “lebih efektif ketimbang
pemimpin Perserikatan Bangsa-bangsa.†Untuk itu, berdasarkan doktrin Bush
yang disampaikan di depan kongres Amerika Serikat pada tanggal 20 september
2002, di dalam dokumen sebanyak 31 halaman derngan berjudul “The National
Security Strategy of United States of Amerikaâ€, Amerika Serikat harus
meningkatkan upaya untuk memperluas kehadiran militer Amerika Serikat ke
seluruh kawasan Eropa dan Asia, dengan membangun pangkalan yang semula hanya
ada di 120 negara, diperluas menjadi 160 negara, untuk menjamin kedudukan dan
peran White Americana, perannya sebagai pemelihara perdamaian dunia di
bawah kekuaaan Amerika Serikat untul mengamankan kepentingan itu Amerika
Serikat membentuk sebuah organisasi super-intelligence bernama ‘Proaktive
Pre-Empitiv Organization Group’ (P2OG), dengan tugas melakukan
operasi-operasi intelijen atas dasar ‘Pukul dahulu urusan belakang’.
Prinsip ini sesuai dengan ancaman presiden Bush kepada semua negara, “if
you’re not with use, you’re against us†(kalau tidak mendukung kami, anda
adalah musuh kami). Serangan Bom Bali pada 12 Oktober 2002 dan Makasar pada 6
Desember 2002 merupakan bentuk dari kampanye intelijen proactive yang
baru dari Amerika Serikat sebagaimana kata Menteri Pertahanan Donald Rumfield
operasi semacam itu berjuang untuk memancing keluarnya â€tikus-tikus muslim
radikal dari sarangnya.â€
Peran Intelijen Asing Di
Indonesia
Makin meningkatnya operasi
intelijen asing, terutama intelijen Barat di Indonesia, terlihat dengan
munculnya propaganda hitam di situs internet TIME.com edisi 17 September
2002, yang menurunkan berita menarik tentang Omar Al-Faruq, sebagai awal dari
suatu operasi intelijen yang sistemik untuk mengubah Indonesia tidak lagi
menjadi “Mata rantai paling lemah di Asia Pasifik dalam rangka upaya
memerangi jaringan terorisme internationalâ€. Munisinya adalah tentang
hadirnya gerakan islam fundamentalis yang digerakkan oleh suatu
organisasi, Jama’ah Islamiyah, yang gerakannya oleh kaum fundamentalis
muslim warga negara Indonesia untuk mendirikan “super-state†Islam di Asia
Tenggara. Tujuan akhir dari kampanye intelijen ini adalah untuk menguasai
negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Kampanye anti-terorisme
Amerika Serikat di Indonesia seluruhnya hanya didasarkan pada pengakuan
Al-Farouq segera diikuti dengan pernyataan-pernyataan yang sifatnya menekan
Indonesia dari para proxy Amerika, seperti “sheriff Amerika†John
Howard dari Australia, “jurubicara†menteri senior Singapura Lee Kuan Yew,
yang menuduh melalui majalah the Far Eastern Economic Review
Hongkong, bahwa ada “ratusan gerakan Islam radikal di Indonesia
yang berpotensi sebagai organisasi teroris.†Pernyataan Lee Kuan Yew
itu menggebyah-uyah semua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam di
Indonesia adalah organisasi teroris.
Konon menurut CIA Al-Faruq adalah
tokoh kakap Al Qaedah di Asia Tenggara yang berhasil diciduk, dikesankan
sebagai prestasi terpenting CIA di Asia Tenggara. Mengapa? Karena ia dinyatakan
sebagai tangan kanan Usamah bin Ladin, yang mendapat tugas untuk
mengkoordinasikan gerakan Islam radikal di Asia Tenggara. Ia tokoh penting
terutama dengan kegiatan untuk mendirikan sebuah “super-state†Islam di
Asia Tenggara. Ia disebutkan banyak menjalin hubungan drngan tokoh-tokoh Islam
radikal Indonesia, antara lain dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, pemimpin
pondok pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo. Ia juga adalah Amir Majelis
Mujahidin Indonesia, yang dituduh sebagai “sayap†Al Qaedah di
Indonesia.
Dalam dokumen CIA itu ada banyak
nama Arab tokoh-tokoh Al-Qaedah yang berada dalam jaringan korespndensi Al
Farouq. Antara lain, ada nama-nama Dr. Ayman Al Zawayhiri dan Mohammad Atef.
Kedua tokoh puncak Al Qaedah itu dilaporkan pernah mengujungi Poso dan Ambon
pada tahun 2000, dua tempat bergolak yang oleh CIA dituduh akan dijadikan
sebagai basis baru Al Qaedah, sebagai Afghanistan kedua.
Dari laporan-laporan CIA yang
dibocorkan melalui media massa, Amerika Serikat ingin membangun kesan bahwa
jaringan Al Qaedah di Indonesia merupakan serius. Laporan itu juga mengatakan
Al Qaedah berhasil membangun sebuah “kamp latihan militer†di Poso. Selain
Poso ada tiga buah lagi di Kalimantan, antara lain sebuah di Balikpapan.
Tanggal 18 Januari 2002 melalui juru bicara BIN Muchyar Mara mengulang kembali
bahwa di Poso ada pusat kamp pelatihan teroris Islam meski berkali-kali
dibantah oleh pejabat setempat.
Sekedar sebaagai contoh, pusat
latihan militer kaum Islam radikal di Kalimantan yang disebut-sebut dalam
laporan CIA itu ternyata pondok pesantren Hidayatullah, yang ada di desa
Gunung Tembak, Balikpapan. Kampus pondok pesantren Hidayatullah itu terdiri
dari suatu hamparan seluas 30 hektar dengan bangunan masjid, gedung pertemuan
unum, ruang belajar, bedeng-bedeng perbengkelan mesin dan alat-alat pertanian,
hamparan lahan ladang tempat para santri praktek bertani, sebuah danau buatan
yang asri sebagai reservoir air bagi kawasan desa Gunung Tembak, dan asrama
bagi santri putra maupun putri serta kawasan perumahan para ustadz. kawasan
ini, karena design lengkapnya, pernah mendapatkan
penghargaan Kalpataru karena jasa-jasa Hidayatullah mengubah tanah
gersang di sana menjadi lahan subur.
Bertetangga dengan
pesantren Hidayahtullah di desa Mandar berdiri tegak pangkalan Yonif
600 Lintas-Udara, pasukan cadangan pemukul dari Kodam VI/Tanjungpura, dan agak
ke selatan lagi berdiri basis kompi Kopasgat TNI AU yang bertugas mengamankan
kawasan bandara internasional Sepinggan, Balikpapan. Di antara
pangkalan-pangkalan ini dengan pesantren, yang dahulunya hanyalah hutan dan
semak belukar, berkat bimbingan pesantren Hidayatullah. Itulah “pusat latihan
militer†di Balikpapan menurut versi CIA.
Pertanyaan : bagaimana
keterrangan dari kepala BIN tentang informasi tentang adanya kamp-kamp latihan
kaum teroris di Poso dan Kalimantan yang dinyatakan oleh juru-bicara BIN Machya
Mara?
Yang termasuk dalam daftar
“wantedâ€- orang yang dicari di Indonesia menurut versi Amerika Serikat
kalau diteliti ternyata adalah mereka yang turut memperjuangkan berlakunya
syariat islam di Indonesia. Sebagai contoh, Agus Dwi Karna yang bersama-sama
Tamsil Linrung mestinya sudah dibebaskan oleh pengadilan Manila, ternyata
keputusan itu dicabut kembali dan tidak berlaku bagi Agus Dwi Karna, karena dia
adalah ketua dariLaskar Jundullah, organisasi yang bernaung di bawah
“panitia persiapan pelaksanaan Syari’at Islam Sulawesi Selatanâ€. Dosa
dari ustadz Abu Bakar Ba’asyir, karena ia menyatakan mendukung
gagasan â€berlakunya syari’at Islam bagi para pemeluknya†di
Indonesia. Sebenarnya Agus, ustadz Ba’asyir, tidak sendirian. Banyak orang
Indonesia dan bahkan beberapa Partai politik di Indonesia, masih terus
memperjuangkan gagasan berlakunya syari’at Islam â€bagi para
pemeluknya†di Indonesia, dan aspirasi itu sudah menjadi publik dan
legal-konstitusional sejak bulan Juni 1945 dalam debat-debat terbuka di
sidangDokuritsu Zyoonbi Choosa-kai, kemudian di
sidang konstituante pada tahun 1959, dan terakhir di sidang MPR 1999.
Jadi apa salah mereka? Dan sampai dengan hari ini gagasan pemberlakuan syari’at
Islam “bagi para peneluknya†di Indonesia masih menjadi wacana terbuka
di tengah-tengah publik di Indonesia.
Pertanyaan :Sampai dengan hari
ini pihak kepolisian belum juga berhasil mengungkapkan bukti-bukti keterlibatan
dari Al Ustadz Abu Bakar Ba’syir dengan kegiatan terorisme sebagaimana yang
dituduhkan oleh pihak keamanan selama ini. Bagaimana keterangan dari kepala BIN
tentang tuduhan terhadap Al Ustadz Abu Bakar Ba’syir yang hanya berdasarkan
testimoni tunggal ’in absentia’ dari seorang tokoh Omar Al-Faruq?
Pada tanggal 12 Oktober 2002
pukul 23.05 sebuah ledakan bom di Bali yang begitu dasyat, konon dilihat dari
jumlah korban yang jatuh adalah yang kedua terbesar sesudah serangan terhadap
gedung WTC New York. Bom yang meledak di depan Sari Night Club menewaskan 184
jiwa mencederai berat dan ringan 300-an orang, seratusan lagi hilang,
menghancurkan atau merusak 47 buah bangunan, dan membakar seratusan kendaraan
berbagai jenis.
Para pengamat dan para ahli
demolisi pada umumnya berpendapat bahan-ledak yang digunakan di pantai
Legian-Kuta itu bukan dari bahan konvensional. Tim investegasi gabungan Polri
dan Australia berusaha melunakkannya dengan menyebutkan bahwa bahan ledaknya,
yang semula dikatakan dari bahan C-4, kemudian diturunkan menjadi RDX, kemudian
di turunkan lagi menjadi HDX, kemudian TNT, lalu bahan ledak yang diimprovisasi
dari bahan pupuk dan akhirnya dari bahan karbit. Ada kesan perubahan keterangan
tentang bahan-ledak agaknya dimaksudkan untuk meniadakan tudingan bahwa bom itu
ulah dari kekuatan luar.
Ledakan bom Bali itu harus dibaca
sebagai coup de grace kepada Indonesia yang melengkapkan hegemoni
Amerika Serikat di Asia Tenggara. Bom Bali sengaja dibuat sedemikian hebatnya,
bukan termasuk kategori bom lokal agar gaungnya mengglobal,
sebagai pretext bahwa bangsa dibelakang peledakan itu adalah Muhammad
Khalifah, adik-ipar Usamah bin Ladin, dari Al Qaidah. 8)
Ketika Presiden Bush mengancam
negara-negara termasuk Indonesia dengan dalil “If you not with us,
you’re against usâ€, ancaman itu tidak menyisakan alternatif lain,
kecuali “ikut, atau menjadi musuh Amerikaâ€. Terima wortel atau mau pentungan.
Kebijakan satu arah semacam itu tidak membuka peluang bagi negara lain untuk
mengembangkan politik nasional yang netral, politik yang bebas-aktif. Sikap
Amerika itu telah menjadi ancaman terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan
nasional Indonesia selama ini yang bebas dan berkedaulatan baik dalam
pengembangan kebijakan dalam-negeri, luar-negeri maupun keamanan, yang tidak
selalu searah dengan selera Amerika Serikat. Seorang Indonesianis, Daniel Lev,
memberikan saran kepada pemerintah Indonesia, agar tidak terseret pada
kepentingan asing jangka-pendek, dan lebih baik memberikan perhatiannya kepada
kepentingan nasional Indonesia jangka-panjang.
Menghadapi dilema seperti itu,
maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah dan badan intelijen nasional kita
kecuali melaksanakan tugasnya dengan tetap mengacu kepada amanah konstitusi,
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.†[SELESAI]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar