Sejarah dinamika politik Indonesia yang sarat intrik seperti itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang wajar dan riil, karena para petinggi militer dan birokrat yang memiliki kiblat ideologi yang berbeda-beda, seperti penggolongan kekuatan para elite Marinir sebagai Sukarnois, menggolongkan Polisi dan Angkatan Udara sebagai Kiri-Tengah, menggolongkan para petinggi Angkatan Darat, seperti Ahmad Yani, Simatupang dan A.H Nasution sebagai pro Amerika, sebagai konsekuensinya hal tersebut membuat sejarah perjalanan dan keberadaan badan atau dinas intelejen Indonesia seakan berjalan secara tumpang tindih dan sering mengalami instabilitas, namun hal itu merupakan fakta sejarah yang harus diterima dan dihargai.
Secara kelembagaan, eksistensi dan peran strategis badan atau dinas intelejen Indonesia mengalami perubahan nama berkali-kali, berawal dengan nama Dewan Istimewa berubah menjadi BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia), kemudian berubah Badan Pertahanan B atau Bagian V di bawah Menhan, kemudian berubah lagi menjadi seksi-seksi intelejen di setiap angkatan, selanjutnya diorganisir lagi ke dalam BKI (Badan Kordinasi Intelejen) selanjutnya menjadi BPI (Badan Pusat Informasi) hingga 22 Agustus 1966, dirubah Suharto menjadi KIN (Komando Intelejen Indonesia).
Di bawah Suharto fungsi dan peran keberadaan strategis Intelejen digunakan sebagai alat kekuasaan secara tak terbatas. Fungsi dan peran dinas intelejen ditugaskan memberi laporan mengenai perkembangan keamanan, baik di level nasional dan internasional, yang mencakup laporan politik, sosial, ekonomi, maupun urusan militer dalam dan luar negeri.
Namun selanjutnya fungsi dan peran dinas intelejen dibuat terpisah dengan fungsi dan peran intelejen militer. Setelah secara resmi melakukan pergantian nama KIN menjadi BAKIN pada 22 Mei 1967 format keberadaan dinas intelejen seakan sengaja dijalankan secara tumpang tindih dan menganut sistem managemen konflik dalam rangka mengamankan kekuasaannya yang dicanangkan dan dikemas dengan istilah Repelita I (Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap ke I).
Untuk mengatasi tumpang tindih fungsi dinas intelejen tersebut, maka Suharto mencari terobosan dengan tetap menyandarkan pada semangat dan demi kelangsungan Repelita II, maka secara resmi Suharto memisahkan pola hubungan antara intelejen BAKIN dengan intelejen militer strategis BAIS, antara lain dengan menugasi KSAD jenderal Makmun Murod untuk menjalankan kebijakan strategis ABRI, mengalihkan fungsi dan peran strategis dinas intelejen agar sepenuhnya berada di bawah kendali militer.
Dan secara khusus konsep pemberdayaan keberadaan BAIS akan ditangani dan dipasrahkan kepada Leonardus B Murdani. Dalam hal ini Soeharto menugaskan langsung kepada Benny Moerdani untuk mengendalikan tiga aparat intelejen sekaligus, yaitu menjadi Asisten Intelijen Hankam merangkap Asisten Intelejen Kopkamtib. Dan juga mereorganisasi sebuah badan intel baru yaitu Pusat Intelejen Strategis (Pusintelstrat) sebagai pengembangan Satuan Tugas Intelejen Hankam.
Keberadaan Badan Intelejen Negara (BAKIN atau BIN) diformat Soeharto berjalan di depan mengawal jalannya kekuasaan orde baru secara berlebihan. Diyakini banyak pihak, peran dan keberadaan Badan Intelejen Negara yang berjalan sebagai penentu kebijakan di hampir seluruh aspek pengelolaan Negara, secara luar biasa berkewenangan untuk mengontrol dan mengendalikan aktifitas politik, ekonomi dan sosial masyarakat bangsa Indonesia. Posisi, peran dan eksistensi Badan Intelejen yang dirancang Soeharto sebagai Negara dalam Negara, secara tidak langsung telah diterima masyarakat sebagai standar dan proporsi Badan Intelejen.
Daftar nama jenderal Angkatan Darat yang menjabat sebagai Kepala BAKIN di masa Orba, antara lain diisi oleh para jenderal TNI aktif, sementara di era reformasi diisi jenderal pension. Kepala BAKIN di zaman orde baru seperti Mayjen SUDIRGO (22 Mei 1967 - 21 November 1968), Letjen YOGA SUGAMA (pernah menjadi Pjs KABAKIN selama 3 bulan : 21 November 1968 – 10 Maret 1969), Mayjen SUTOPO JUWONO (10 Maret 1969 - Februari 1974), Letjen YOGA SUGAMA (Feb 1974 – Maret 1989), Mayjen SUDIBYO (Maret 1989 – 1994) Mayjen MUTHOJIB (1994 - 16 September 1998).
Sedangkan nama-nama Ka BAKIN di era Reformasi diisi oleh para jenderal purnawira, yaitu Mayjen purn Z.A MAULANI (16 September 1998 – September 1999) Ka BIN berikutnya Letjen purn ARIE J KUMAAT (September 1999 – Agustus 2001), Letjen purn AM HENDROPRIYONO (Agustus 2001 – 20 Oktober 2004) selanjutnya AM Hendropriyono menyerahkan kepemimpinan BIN kepada Waka BIN As’at Said hingga era presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Letjen purn. Syamsir Siregar terhitung (8 Desember 2004 hingga sekarang).
Praksis Intelejen Warisan Soeharto
imageKonsep standar baku peran dan fungsi intelejen dalam sebuah Negara terwujud dalam suatu kelembagaan yang mengemban tugas dan tanggung jawab strategis dalam hal penginderaan dini dan pemantauan terhadap setiap permasalahan, problem dan tantangan yang muncul yang dipandang atau diperhitungkan dapat mengganggu eksistensi kadaulatan Negara, baik yang berasal dari dalam maupun luar.
Hasil penginderaan dini yang valid dan obyektif tersebut kemudian disupply kepada pemerintah (lembaga legislatif dan eksekutif) departemen-departemen yang ada dalam rangka membuat kebijakan pengamanan dan atau tindakan.
Intelejen di kalangan ilmuwan dikenal sebagai kegiatan organisasi yang dibentuk dan diperlukan demi kepentingan atau tujuan tertentu demi memperoleh informasi, hipotesa, sintesa tentang sesuatu untuk didayagunakan sesuai keperluan dan bermanfaat bagi kepentingan dan tujuan ilmu dan kemashlahatan ummat manusia, masyarakat bangsa atau negara.
Intelejen Negara (BAKIN) di era rezim Soharto dikenal sebagai organisasi strategis yang dibentuk dan diperlukan dan bertanggung jawab kepada kepala negara untuk tujuan kekuasaan yang diatasnamakan sebagai kepentingan negara serta pemerintahan dalam rangka pengamanan dan mengambil kebijakan.
Oleh karenanya peran dan fungsi intelejen menjadi strategis dan sangat menentukan, sebab intelejen berperan-fungsi menjadi mata, telinga, otak serta nafsu kepala Negara sekaligus diberi kewenangan melakukan kebijakan penindakan (KOPKAMTIB).
Intelejen yang kemampuan dan wewenangnya seperti itu bertanggungjawab memberi saran dan rekomendasi tentang segala sesuatu berkenaan dengan tugas penyelenggaraan negara – pemerintahan pada gilirannya menjadi akar dan tubuh yang kuat untuk mempertahankan eksistensi dan kedaulatan pemerintah (rezim) sekaligus canggih dalam membuat kebijakan dan atau untuk melakukan tindakan preventif dan represif.
Untuk kepentingan, tugas dan tanggungjawab tersebut intelejen menerapkan sistem penguasaan lapangan atau medan dengan menggunakan mekanisme struktur pemerintahan yang sudah berjalan dari hulu (tingkat Kelurahan) hingga hilir (tingkat Distrik dan Propinsi) dalam rangka menguasai informasi tentang kondisi obyektif potensi (positif dan negatif) yang terdapat dalam suatu daerah atau komunitas masyarakat secara detil dan akurat.
Oleh karenanya Intelejen diberi kewenangan sangat luas dan besar serta fasilitas luar biasa, yang dalam kamus kehidupan sehari-hari dengan semboyan: Tidak ada pintu yang tertutup, tidak ada rahasia yang tak terdeteksi, tidak ada tembok (kekuasaan) yang tidak bisa ditembus, tidak ada tiket yang di-cancel dan tidak ada yang boleh tahu gerakan, kebijakan dan rahasia intelejen.
Intelejen negara juga mengarahkan tanggung jawab kepentingan negara terhadap potensi positif atau negatif negara-negara tetangga dan secara politik ideologis berseberangan. Tugas dan tanggung jawab intelejen selanjutnya diberdayakan untuk dan diposisikan sebagai bagian dari kepentingan pemerintah dan negara dalam rangka memantau jalannya program dan kebijakan pemerintah, untuk keperluan evaluasi dan melihat langsung reaksi yang terjadi di masyarakat atas pemberlakuan program kebijakan tersebut. Setiap sikap pro dan kontra yang muncul dalam masyarakat akibat program kebijakan pemerintah-negara menjadi tugas dan tanggungjawab intelejen lebih lanjut.
Intelejen militer (BAIS) dibentuk dan diperlukan bagi kepentingan strategi dan pengamanan wilayah (teritori) negara, penguasaan medan dan menghadapi musuh atau lawan di saat aman dan perang. Intelejen militer berkoordinasi dengan intelejen negara guna memanfaatkan data potensi lapangan yang ada untuk dikembangkan bagi kepentingan lebih lanjut.
Di Indonesia intelejen militer (BIA atau BAIS) dan intelejen negara (BAKIN atau BIN sekarang) di masa Orde Baru fungsi dan peran ketiga institusi intelejen tersebut digabung dalam satu komando dan satu kepentingan, eksistensi dan kedaulatan penguasa (rezim) di sinilah format dan konsep Dwifungsi ABRI dibuat menyimpang dan menjadi sebuah konsep negara totaliter dan militeristik.
Pola strategi pembangunan dan pengembangan organisasi dan kekuatan TNI-AD secara nyata dilakukan Soeharto di antaranya meletakkan program renstra (rencana strategis) yang dikaitkan dengan konsep repelita tahap II pada tahun 1974-1978. Antara lain menetapkan kebijakan yang berkenaan dengan ABRI, Tugas dan tanggung jawab KASAD tentang peran politik dan strategi, yang selanjutnya dikenal sebagai pilar-pilar sesat Dwifungsi ABRI, yaitu:
1. Titik berat renstra pada tahun 1975-1976 tersebut adalah : Tahun 1975-1976 sebagai tahun kedua pelaksanaan renstra Hankam, dengan mengambil pemilu sebagai sasaran antara. Pencapaian sasaran renstra 1974-1978 harus disesuaikan dengan penyiapan kekuatan tahun 1975-1976, a.l :
1. Menfokuskan seluruh daya dan dana TNI AD tahun 1975-1976 untuk mensukseskan terwujudnya target pembangunan kekuatan dan kemampuan.
2. Meningkatkan kemampuan Komando, pengendalian dan mobilitas kemampuan satuan AD telah dikelompokkan kembali (regrouping)
2. Kesiapan Operasi
1. Merealisir program regrouping satuan target yang direncanakan tahun 1975-1976 target pola regrouping digunakan agar pemilu tahun 1977 dan target terwujudnya 420 satuan kompi sudah bisa dioperasikan bagi tugas pengamanan pemilu, dan operasi keamanan dalam negeri melalui Opsus dan Opstib.
2. Merealisir sinergi keberadaan aparatur territorial dan intel yang menggunakan pola regrouping dapat mencapai target 245 Kodim dan 1300 Koramil, pembinaan territorial harus berjalan mantap
3. Menyelenggarakan latihan terarah mendukung pola latihan regrouping agar satuan operasional, aparat teritorial dan intelejen memiliki kemampuan operasi keamanan dalam negeri (Opsus dan Opstib)
3. Intel Pam.
1. Organisasi aparatur Intel Pam baik tingkat pusat hingga daerah yang baru dibentuk harus dapat beroperasi pada tahun 1975
2. Pembersihan sisa sisa PKI dalam tubuh AD terlaksana dengan intensif.
3. Menghadapi ancaman kekuatan ektrem kanan dan ektrem lainnya
4. Mendukung kebijakan Operasi Khusus dan Operasi Tertib yang dicanangkan Pemerintah.
Sejarah TNI pasca G30S PKI 1965 telah keluar dan melenceng dari prinsip tugas dan tanggungjawab serta jatidiri TNI sesuai amanat kemerdekaan mapun konstitusi. Dampak buruk dan negative akibat penyimpangan dalam konsep dan praktek TNI bisa ditelusuri melalui evaluasi di bawah ini :
Keberadaan militer sejak Soeharto mengambil alih komando kekuasaan 1 Oktober 1965, melalui ide dan konsep terapan strategis berwujud Kopkamtib yang dikembangkannya pada 3 Oktober dan disahkan pada 10 Oktober 1965 telah memunculkan rezim Orde baru yang berdiri di atas dua struktur kekuatan, hukum dan gaya sipil sekaligus militer, telah mengantar Soeharto berhasil menancapkan posisi dan keberadaan militer menjadi sumber sekaligus sebagai kekuatan permanent system totalitarian, anti demokrasi.
Konsep dan prinsip terapan militerism selalu berkecenderungan menggunakan disiplin mental dan pola tindakan (tingkah laku dan kebijakan) bersifat sistem komando, security, violence & power approach, selain itu sikap mental militer juga dikenal menjadi tabu menerima kritik, tapi sangat rakus dan doyan korupsi. Selain memiliki moral yang dekadens, militer juga dikenal sangat arogan dan kehilangan rasa malu. Beberapa factor negatif inilah yang membuat peran dan keberadaan militer memiliki kultur tirani dan sewenang-wenang.
Di bawah asuhan rezim Suharto, keberadaan dan kepribadian militer mengalami perubahan secara dramatis. Konsep militer dari rakyat untuk rakyat dan fungsi peran militer sebagai alat dan penjaga keamanan Negara, sebagai pelindung yang manunggal dengan rakyat, tiba-tiba berubah menjadi alat dan pengawal penguasa serta menjadi alat dan pengawal pengusaha, setelah konsep dan terapan struktur dwifungsi ABRI yang dicanangkan Nasution di masa rezim Soekarno diplintir habis-habisan oleh Soeharto sehingga struktur dan keberadaan militer melalui konsep Kopkamtib menjadi justifikasi TNI-ABRI sebagai predator bagi rakyat.
Penyelenggaraan sistem kekuasaan negara pada era rezim Soeharto yang menerapkan kebijakan, menggunakan secara optimal keberadaan militer untuk kepentingan pembangunan kekuatan dan kerajaan intelejen, baik sebagai alat maupun sekaligus sebagai payung kekuasaan.
Penggunaan struktur keberadaan militer seperti itulah yang menyebabkan peran dan fungsi standar baku peran, fungsi dan eksistensi militer dan intelejen Indonesia mengalami regulasi dan berubah total menjadi negara totaliter –sistem yang militeristik. Seluruh posisi kekuasaan strategis di kabinet diisi oleh jenderal loyalis, demikian halnya di tingkat propinsi dan kabupaten.
Organisasi intelejen militer dan intelejen negara menjadi makin mengakar dan sangat kuat setelah Soeharto menerapkan nasionalisme sempit Pancasila menjadi filosofi sistem politik rezim totaliter-militeristik melalui kebijakan stigma dan penghancuran terhadap potensi kekuatan ummat Islam maupun rival politik yang berada dalam garis ideologi komunis maupun demokrat dengan cara radikal dan sistematis.
Disinilah awal penyimpangan konsep fungsi dan peran serta penerapan intelejen yang sangat fatal mulai terjadi di masa Orba, di mana fungsi dan peran militer-intelejen lebih berorientasi kepada kepentingan kekuasaan yang diatasnamakan Negara, dan bukan berorientasi kepada tanggungjawab yang sebenarnya, yaitu tanggungjawab memberdayakan tingkat SDM, keamanan dan kesejahteraan rakyatnya.
Akibatnya konsep sistem komando dan pembinaan teritorial ala militer yang diterapkan tak ubahnya sama dengan konsep penerapan darurat militer, di mana menuntut seluruh masyarakat yang berada di dalamnya agar tunduk kepada pemerintah-negara secara paksa, inilah refleksi konsep penyelenggaraan sistem Negara totaliter dan militeristik.
Konsep sistem komando dan pembinaan teritori ala militer juga berarti sebagai proses penggalangan, pembinaan, penugasan dan penghancuran terhadap masyarakat tertentu dengan tanpa mengindahkan undang-undang, hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai HAM .
Di bawah Rezim Suharto, fungsi strategis Lembaga Intelejen juga digunakan sebagai alat untuk melestarikan kekuasaan secara tak terbatas, hal ini mengakibatkan Lembaga Intelijen merupakan suatu Institusi Negara dalam Negara atau disebut juga sebagai operator negara bayangan.
Dalam konteks fungsi dan peran Institusi Intelejen sebagai Alat Penguasa dan Negara Bayangan menyebabkan Reformasi tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan rakyat Indonesia. Di bawah Rezim Soeharto, Institusi Intelijen masuk ke dalam setiap sisi kehidupan masyarakat dengan tujuan agar setiap gerak-gerik masyarakat dalam berorganisasi maupun bersosialisasi dapat diawasi.
Hal tersebut berdampak buruk dalam kehidupan bermasyarkat. Masyarkat menjadi apatis, tidak berkembang dan hidup dalam ketakutan, karena Aparat Intelijen dapat menentukan nasib setiap individu maupun organisasi. Pada masa itu seluruh kegiatan Dunia Hitam seperti Judi, Korupsi, Pelacuran, Narkoba, Penyelundupan, Pencurian, Minuman Keras, Perampok, Preman digalang dan diarahkan untuk suatu tujuan.
Aparat negara baik sipil maupun Militer sangat diuntungkan dengan proses Penggalangan tersebut. Stabilitas keamanan di suatu daerah ditentukan oleh Institusi Intelejen melalui dalih Operasi Intelejen. Dalam melaksanakan Operasi Intelejen, Aparat Pelaksana Lapangan telah diformat berdasarkan undang-undang secara tidak tertulis dijamin tidak akan tersentuh oleh Hukum dan peraturan, sehingga dalam setiap aksinya boleh menggunakan berbagai cara.
Terjadinya proses Penguatan Institusi Intelejen telah dimulai sejak 1965 hingga Lengsernya Soeharto. Karena sedemikian lamanya Rakyat Indonesia dibuat tidak berdaya oleh Institusi Intelijen, menyebabkan Pergantian Pimpinan maupun Pergantian Pemerintahan pasca Soeharto hingga saat ini, menjadi sulit dan tidak dapat menuntaskan agenda reformasi.
Aksi-aksi kerusuhan yang bernuansa konflik agama dan suku di berbagai daerah yang berlanjut dengan aksi teror dan tindakan terorisme terus berlangsung hingga kini. Kaderisasi, indoktrinasi dan operasi aparat intelejen masih berpatron pada pola, gaya dan aksi orde baru. Oleh sebab itu sangat mudah bagi kaum sipil terdidik untuk mengetahui pola dan aksi dari sebuah operasi intelejen tersebut.
Hal ini bisa dilihat dan dikritisi melalui dari anggaran biaya operasional yang dibutuhkan Institusi Intelejen yang sangat besar, jika hal itu mengandalkan anggaran dari pemerintah semata-mata, maka institusi intelejen tersebut tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan operasi intelejen. Hal inilah yang menyebabkan Intitusi Intelejen melalui aparatnya di lapangan selalu membangun kerjasama dengan pengusaha, dengan dunia hitam dan beberapa institusi yang berkepentingan, dalam rangka menggalang dana bagi kebutuhan operasional.
Akan tetapi karena basis mental dan moralitas aparat Intelejen yang buruk, maka dari seluruh order dan pekerjaan yang membutuhkan banyak dukungan dana bagi kepentingan sebuah operasi intelejen dalam prakteknya dilaksanakan tanpa melihat ekses atau akibat yang mungkin ditimbulkan. Semua Operasi Intelejen selalu dilaksanakan dengan mengatasnamakan “Demi Negara Kesatuan Republik Indonesia”, walaupun realitas yang sebenarnya akhirnya membuktikan, bahwa operasi tersebut lebih berorientasi kepada kepentingan pribadi dan kelompok belaka.
Dalam skema struktur organisasi, kinerja dan pola koordinasi antara program kegiatan dan peran, fungsi maupun tanggungjawab lembaga militer dan intelejen terhadap bangsa dan negara dapat ditelusuri, dianalisa dan diapresiasi melalui 3 skema penyelenggaraan tugas intelejen sebagai berikut:
Skema pertama, menelusuri dan menganalisis peran Soeharto setelah memperoleh mandat Supersemar tahun 1966 dari tangan Soekarno. Momentum tersebut berhasil dimanfaatkan untuk memelintir habis sistem dan konsep komando militer serta kekuasaan politik menjadi mesin politik dan kekuasaan Orde baru.
Melalui lembaga hasil rekayasa (ciptaan) sendiri yang selanjutnya dijalankan dan dikendalikan di bawah kepemimpinanya sendiri dan diberi nama Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Sebuah lembaga resmi, berkedudukan tinggi, kuat dan paling berkuasa untuk menguasai, me-manage dan mengendalikan masyarakat, bangsa dan Negara Republik Indonesia, namun tanpa dasar hukum.
Richard Tanter menyebut, Kopkamtib sebagai organisasi sipil dan militer yang secara khusus dibentuk dan atau dikembangkan untuk tujuan-tujuan pengawasan dan pengendalian penduduk Indonesia. Salah satu institusi pusat yang langsung berada di bawah komando Presiden adalah Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Di bawah lembaga ini terdapat serangkaian organisasi militer atau non-militer yang melaksanakan tugas dan program lembaga ini.
Kopkamtib dibentuk pada tanggal 3 Oktober dan resmi dideklarasikan 10 Oktober 1965, segera setelah terjadi peristiwa G30S. Bisa dikatakan lembaga ini merupakan jantung kekuasaan ORBA yang mengkoordinasi sejumlah badan intelejen, mulai dari Bakin sampai dengan intelejen dalam setiap bagian Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Malahan pada kasus-kasus yang dianggap dapat menganggu stabilitas politik dan ekonomi, Kopkamtib bisa menerobos wewenang departemen sipil, bahkan wewenang angkatan bersenjata sekalipun. Dengan memperkerjakan personel militer terpercaya untuk melaksanakan tugas-tugas yang bertujuan politik dalam artian yang luas dan luar biasa, maka Kopkamtib merupakan inti pemerintah Indonesia pada masa hukum darurat perang yang permanen.
Kekuasaan Kopkamptib wewenang hukumnya dan konsepsi lembaga ini tentang perannya sendiri. Kopkamtib bukanlah suatu bentuk organisasi yang lepas dari Angkatan bersenjata. Kopkamtib lebih merupakan konsep ketimbang organisasi, yang merupakan suatu rumusan ideologis yang berwenang melakukan re-organisasi sumber daya angkatan bersenjata untuk perang sipil dan rekayasa sosial tanpa pengekangan hukum.
Status hukum Kopkamtib sebenarnya tidak jelas namun sangat kuat. Pengesahan secara istimewa oleh pemerintah terhadap Kopkamtib selalu hanya dengan dalih Surat Perintah Sebelas Maret yang dikeluarkan Soekarno pada 11 Maret tahun 1966, yang ditafsirkan telah memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah penting bagi jaminan keamanan, ketertiban dan stabilitas pemerintah. Di tahun 1973 MPR menekankan:
“memberikan kekuasaaan kepada Presiden/Mandataris MPR untuk mengambilkan langkah-langkah penting dalam menjaga dan memantapkan kesatuan dan persatuan bangsa serta mencegah pemunculan kembali PKI/G30S dan semua ancaman subversif lain dalam melindungi pembangunan nasional, demokrasi Pancasila dan UUD 1945”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar