MOJOKERTO - Petirtan Jolotundo menjadi salah satu aset sejarah dan wisata bernilai tinggi yang dimiliki Kabupaten Mojokerto. Banyak misteri dan keunikan situs ini yang masih belum diketahui khalayak. Salah satunya adalah kualitas air petirtan yang konon nomor tiga terbaik dunia.
Situs Candi Jolotundo, atau yang kerap disebut Petirtan Jolotundo, adalah salah satu peninggalan sejarah kerajaan sebelum Majapahit. Situs berupa candi dengan air yang mengalir dari berbagai sudut candi itu dibuat pada tahun 997 Masehi. Zaman Airlangga pada masa kejayaan Kerajaan Kahuripan.
Konon waktu itu, bangunan berukuran panjang 16,85 meter dengan lebar 13,52 meter dan tinggi 5,2 meter itu menjadi tempat pemandian para petinggi kerajaan. Dalam sejarah disebut, bangunan ini sengaja dibuat Raja Udayana untuk menyambut kelahiran putranya, Prabu Airlangga.
Jika dilihat lebih detail, bangunan yang terbuat dari batu andesit ini memang menampakkan keistimewaan. Pahatan relief yang halus, menandakan jika proses pembuatannya membutuhkan tenaga terampil. Juga bentuk bangunan yang terkesan tidak biasa dengan 52 pancuran airnya. Ke 52 pancuran itu memuntahkan air jernih yang tanpa henti meski musim kemarau tiba.
Ratusan ikan berbagai jenis, tumbuh liar di kolam bagian bawah. Meski demikian, tak satupun pengunjung yang berani mengambik ikan-ikan itu. Mereka percaya, mengambil ikan di lokasi ini akan berbuntut petaka. Lantaran itu, pengunjung lebih memilih memberi makan ikan dari pada mengambilnya.
Di sisi kiri dan kanan bangunan bagian atas, terdapat dua kolam kecil yang saat ini dimanfaatkan pengunjung untuk mandi dan berendam. Terpisah untuk pengunjung laki-laki dan perempuan, pengunjung tak diperbolehkan untuk mandi menggunakan shampoo dan sabun. Ini untuk menjaga kemurnian air kolam. Juga untuk menjaga ekosistem ikan-ikan yang berada di bagian bawah kolam pemandian.
Berada di lereng gunung Penanggungan, tepatnya di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, lokasi wisata ini terbilang istimewa. Selain bentuk bangunan candi yang memang tak biasa, juga kualitas air yang dimiliki. Dari dua kali penelitian oleh tim arkeolog dari Belanda, kualitas air petirtan Jolotundo ini telah dibuktikan.
"Penelitian tahun 1985, kualitas air di petirtan Jolotundo menduduki rangking 5 dunia," terang Sunaji, juru pelihara yang juga petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan.
Penelitian kedua juga dilakukan arkeolog Belanda pada tahun 1991. Hasilnya, kualitas air petirtan Jolotundo menduduki peringkat 3 dunia. Tentu saja hasil itu bukan main-main. Karena ternyata, kandungan mineral air petirtan ini sangat tinggi. Itupun bisa dibuktikan jika kita menyimpan air ini dalam jangka waktu yang lama.
"Pernah kita uji coba dengan menyimpan air ini selama 2 tahun. Bau, warna dan rasanya tak berubah," tambahnya.
Oleh beberapa kalangan, air petirtan Jolotundo tak hanya diyakini memiliki kandungan mineral yang tinggi. Lebih dari itu, sebagian mereka percaya jika ada obat awet muda di dalamnya. Lagi-lagi, karena kayanya kandungan bahan alami dari air yang bersumber dari pegunungan itu. Sunajipun meyakini, karena dari sumber mata air yang berada di dataran tinggi itu terdapat banyak tumbuhan rempah-rempah.
"Air ini telah melalui penyaringan-penyaringan. Tapi memang, banyak tumbuhan rempah-rempah di atas. Sehingga air ini diyakini bisa menjadi obat awet muda," katanya.
Lokasi seluas 1 hektar ini bukan hanya menjadi tempat wisata sejarah saja. Sebagian orang justru memanfaatkan tempat tersebut sebagai tempat wisata religi. Tak heran pada setiam malam Jumat, akan ada puluhan orang yang memilih berdiam diri di tempat ini hingga pagi. Terlebih malam bulan purnama. Mereka meyakini tempat ini memiliki kelebihan untuk memunculkan berbagai permintaan.
"Paling ramai jika bulan purnama. Banyak yang semedi," tukasnya.
Sayangnya, keistimewaan Petirtan Jolotundo tak banyak dinikmati banyak orang. Terbukti, dalam sebulan, tempat ini hanya dikunjungi sekitar 1.100 orang. Jumlah yang sangat kecil dibanding pesona yang dimiliki sebuah tempat wisata. Memang, banyak kekurangan di sana-sini sehingga tempat ini masih belum memiliki daya tarik untuk dikunjungi wisatawan.
Salah satunya adalah akses jalan menuju lokasi. Selain sempit, kerusakan jalan juga banyak ditemukan. Khususnya jalur dari Kecamatan Pungging melewati Desa Kesemen. Sehingga, wisatawan yang berasal dari Kota Mojokerto harus memutar melewati Kecamatan Ngoro untuk menghindari kerusakan jalan yang memang dalam kondisi yang parah.
Untuk menuju lokasi, wisatawan juga harus merogoh kocek yang cukup dalam untuk transportasi. Pasalnya, tak ada angkutan umum yang melintas di jalur wisata ini. Bahkan pada malam hari, wisatawan harus rela membayar Rp20 ribu jasa ojek hingga ke lokasi.
"Banyak yang mengeluhkan transportasi," kata Sunaji.
Selain itu, masih belum ada wisata pendukung yang bisa dijadikan wisata alternatif di lokasi itu. salah satunya adalah penjualan suvenir. Satu-satunya kios suvenir yang ada di lokasi itu telah mati. Juga wisata kuliner yang nyaris tak ada di sekitar lokasi. Hanya beberapa warung kecil yang menyediakan makanan dingan. Tak ayal, wisatawan hanya disuguhi pemandangan petirtan, tanpa ada wisata tambahan.
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Mojokerto, Affandi Abdul Hadi mengakui, memang banyak infrastuktur pendukung yang masih belum tersedia di lokasi ini. Sehingga kata dia, lokasi petirtaan masih sulit dilirik wisatawan.
"Kami sedang menunggu investor agar tempat wisata ini bisa memberikan sajian lebih nantinya," terang Affandi.
Dia juga menyadari kondisi jalan yang rusak menjadi salah satu pemicu sepinya pengunjung. Sejauh ini kata dia, pelebaran jalan masih terkendala dengan pihak lain yang juga memiliki wewenang lokasi tersebut.
"Di sini ada Perhutani dan BP3 yang juga ikut andil. Pihak Perhutani keberatan adanya pelebaran jalan jika harus mengorbankan sejumlah pepohonan. Ini masih kita pikirkan," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar